Minggu, 31 Juli 2011

SHIGERU BAN, ARSITEK TABUNG KERTAS

Tabung Kertas dari kertas bekas
Apakah anda pernah atau sering melakukan ploting kertas, baik kertas kalkir maupun hvs yang berukuran A1 atau A0? Atau apakah anda bekerja di bidang grafis? di bidang percetakan? Jika iya, pasti anda pernah melihat atau mengenal yang namanya tabung kertas yang digunakan sebagai bagian dasar gulungan kertas. Lalu jika satu gulungan kertas tersebut sudah habis terpakai, apa yang akan anda lakukan dengan tabung kertas tadi? Sebagian besar dari kita biasanya membuangnya. Pernahkah terpikirkan oleh anda jika tabung kertas tersebut bisa membantu anda membuat meja, furniture lain atau bahkan sebuah rumah?
Tabung kKertas sebagai kolom dan dinding ekspos bangunan

Shigeru Ban, arsitek Internasional Jepang adalah salah satu arsitek yang dikenal karena pemanfaatan tabung kertas (paper tube) dalam karya karya nya. Sebagai seorang warga Jepang, mungkin Ban sadar akan budaya rumah tradisional Jepang dengan Shoji Screen atau dinding partisi kertas nya. Apa yang di lakukan Ban sebenarnya merupakan modifikasi dari shoji screen. Tapi dia tidak memanfaatkan lembaran kertas baru sebagai bagian dari karya disainnya, tapi tabung kertas yang di pakai untuk membuat gulungan kertas. Ban mendapatkannya dari percetakan maupun dari pabrik kertas dengan berbagai ukuran sesuai yang dia butuhkan.Arsitek lulusan Southern California Institute of Architecture ini pernah mendapatkan penghargaan Thomas Jefferson Medal in Architecture di tahun 2005 dari Univeristas Virginia di California atas prestasi dan kreatifitas ide nya dalam pemanfaatan tabung kertas bekas.
The Curtain Wall House - Shigeru Ban

Karya karya Shigeru Ban yang menggunakan tabung kertas menjadi karya yang unik namun tetap memperlihatkan arsitektur modern Jepang. The Curtain Wall House adalaha salah satu karyanya yang telah melambungkan namanya menjadi "paper Architect". Rumah tersebut tetap memperlihatkan kesederhanaan dan perpaduan teknik konstruksi lama dan baru yang di kemasnya dalam bentuk kontemporer.Lokasi rumah ini juga di tunjang dengan view sekitar yang cukup menarik, sehingga ban bisa memposisikan rumah nya dengan menghadap ke landscape alami melalu dek kayu yang dia buat sebagai bagian dari interaksi ruang dalam rumah dengan ruang luar.

Paper Log House Kobe - Shigeru Ban

Pada rentang tahun 1995 - 2001, Sgigeru Ban mengerjakan rumah rumah masal untuk penampungan korban bencana gempa bumi di Kobe yang disebutnya Paper Log House. Menurut Ban, hal yang menarik dari tabung kertas ini adalah ketersediaanya di Jepang dalam berbagai macam ukuran dan ketebalan sehingga dia bisa mengkombinasikannya sesuai dengan kebutuhan.Di paper Log House kita bisa melihat Ban berusaha menjadikan tabung kertas yang dalam ukuran besar sebagai penyangga struktural bangunan yang bersifat semi permanent tersebut. Rumah tersebut menggunakan atap tenda, sehingga menurut Ban, kolom dari tabung kertas yang berukuran besar masih cukup kokoh untuk menopang atap tendanya. Sementara dindingnya juga menggunakan tabung kertas yang disusun berbaris. Disini, Shigeru ban banyak menggunakan tabung kertas berdiameter 4,5 inch. Yang uniknya lagi, Ban memanfaatkan keranjang bekas minuman kaleng bir untuk menopang rumah ini sebagai pondasinya.
Pondasi dari keranjang bekas kaleng minuman bir

Pada tahun 2000 di Expo Hannover, Jerman, Shigeru Ban membuat suatu lompatan yang lebih fenomenal untuk tabung tabung kertasnya dari sekedar dinding pengisi ruangan atau partisi pemisah ruangan. Di Pavilion Jepang untuk Expo Hannover 2000, Shigeru Ban membuatnya menjadi rangkaian penyusun struktrur atap lengkung yang menyerupai terowongan (tunnel) besar. Atap tersebut disusunnya menyerupai konstruksi atap bambu dan dilapisi tenda sebagai penutupnya. Di pavilion Hannover ini Ban menunjukkan pemanfaatan tabung kertas ke dalam taraf yang lebih lanjut dan lebih rumit.
Pavilion Jepang di Axpo Hannover 2000

Pemanfaatan tabung kertas bekas yang dilakukan Shigeru Ban telah membuatnya mampu menunjukan suatu kreatifitas disain yang memanfaatkan material bekas, teknologi rendah dan biaya yang tidak mahal. Namun memang diperlukan skill dan pengetahuan teknis detail yang tinggi untuk mewujudkan tabung tabung kertas tersebut bisa berdiri dan saling menyambung dengan baik sebagai bagian dari suatu bangunan. Dan yang pasti, menurut Ban teknologi tabung kertas ini memiliki nilai sustainable atau berkelanjutan karena akan selalu di produksi oleh pabrik kertas selama kebutuhan kertas belum tergantikan oleh teknologi lain. Paper tube tersebut biasanya diproduksi dengan menggunakan kertas kertas sisa atau bekas yang kemudian di press di pabrik menjadi tabung kertas.

Di Indonesia, di Mekar Jaya Bandung ada sebuah industri rumahan kecil yang secara manual memproduksi tabung kertas tersebut dari kertas bekas dan didistribusikan ke pabrik kertas yang akan memproduksi gulungan kertas ukuran besar untuk digunakan oleh jasa percetakan atau kantor kantor yang memerlukan produksi pencetakan menggunakan kertas kertas ukuran besar melalui media plotter.
Industri penghasil tabung kertas di Mekar jaya



sumber dari : wikipedia
                     http://www.shigerubanarchitects.com/
                     http://mekarjayabandung.wordpress.com/

Minggu, 17 Juli 2011

Rainwater Harvesting, Pelengkap Kehadiran Roof Garden

Beberapa masalah lingkungan yang yang di hadapi oleh kota besar yang padat adalah polusi udara, kekurangan air bersih dan kekurangan ruang hijau tanaman. Ide roof garden atau taman di atap sudah lama menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Roof garden menjawab kekurangan ruang hijau di atas tanah dan sebagai filter polusi udara. Namun sangat disayangkan jika fungsi roof garden tersebut hanya berhenti sampai disitu. Fungsi roof garden terasa lebih lengkap jika memang membantu penyerapan air hujan yang mampu menghasilkan air yang akan di olah menjadi air yang kembali siap pakai minmal untuk keperluan siram menyiram termasuk untuk flushing toilet.Secara kalkulatif, 1 m2 roof garden dapat menyaring 0,2 kg debu aerosol dan partikel asap setiap tahunnya. Bahkan keberadaan roof garden dapat mengurangi suhu ruangan di bawahnya sekitar 3-4 derahat celcius sehingga diharapkan dapat menghemat listrik dari penggunaan AC sekitar 50%.

Untuk mendukung  pengolahan air hujan yang di tampung di atap diperlukan sistem rainwater harvesting. Sistem rainwater harvesting, yang prinsipnya adalah menampung air hujan dan di olah kembali menjadi siap pakai, akan membantu mengurangi limpahan air hujan yang dapat menyebabkan banjir serta membantu penghematan penggunaan air tanah. Dari sisi ekonomis secara berkelanjutan, sistem rainwater harvesting mengurangi biaya tagihan penggunaan air. Secara perhitungan umum, jika suatu kota dapat menyediakan 100.000 rumah yang menggunakan roof garden masing masing seluas 100 m2 maka kota tersebut dapat menyediakan ruang hijau untuk resapan seluas 1000 hektar. Roof garden seluas 155 m2 cukup untuk menghasilkan oksigen untuk satu orang selama 24 jam.

Sistem rianwater harvesting sudah banyak berkembang dan di kenal, sehingga sudah ada beberapa modifikasi dan varian dari sistem tersebut. Namun secara sederhana dan konvensionla, sistem rainwater harvesting sebenarnya adalah kelanjutan dari sistem roof garden. Secara sederhana sistem roof garden adalah susunan  lapisan tanah sebagai media tumbuhnya tanaman, diikuti lapisan pasir, geotextile dan kerikil atau sirtu di atas pelat beton yang sudah di lapisi waterproofing. Lapisan tanah yang digunakan ber variasi kedalaman dan bebannya tergantung jenis tanaman yang akan digunakan. Dalam perkembangannya, kerikil atau sirtu bisa diganti lapisan membran lain yang bisa mengurangi beban berat dari kerikil ataupun sirtu tersebut. Sudah banyak beredar teknologi membran pengganti sirtu tersebut. Selanjutnya hasil resapan dari roof garden di saurkan ke dalam tanki yang fungsinya untuk menampung air sebelum mengalami filterisasi atau pengolahan sederhana melalui media pasir. Setelah mengalami proses sedimentasi air hasil olahan akan  di pompa ke dalam penampungan air bersih untuk menjadi sumber air yang akan digunakan untuk keperluan siram menyiram. Di dalam tanki pengolahan, air juga akan mengalami proses saringan yang memisahkan partikel pasir dan tanah yang terkandung dalam air. Sebenarnya sudah ada teknologi filterisasi yang mampu mengolah air tersebut menjadi siap minum. Namun secara psikologis, masih banyak orang yang belum berani meminum langsung air hasil filterisasi tersebut.


Jika teknologi rainwater harvesting bisa diterapkan di rumah rumah dengan teknologi sederhana dan murah maka akan penggunaan air tanah bisa dikurangi dan siklus penggunaan air juga akan lebih hemat, mengurangi banyaknya air yang terbuang sia sia. Di beberapa negara Afrika sejak tahun 1970-n sudah dikembangkan teknologi sederhana dan konvensional untuk rainwater harvesting yang bisa di buat oleh tukang tukang biasa. Cara cara yang lebih sederhana dan murah akan memudahkan pemasalan sistem pengolahan air limpahan hujan sehingga membantu perbaikan lingkungan.

Sabtu, 16 Juli 2011

Rumah Kertas Stemnan, Inspirasi Dari Kertas Koran

Salah satu hal yang identik dengan rumah tradisional di Jepang adalah Shoji Screen yang merupakan partisi atau pembatas ruangan yang terbuat dari dinding kertas. Namun ternyata rumah dengan dinding kertas juga di temukan di luar Jepang. Sebuah rumah di Rockport, Massachusetts di Amerika Serikat yang di bangun tahun 1922 juga merupakan rumah yang identik dengan kertas. Elis Stemnan, seorang insinyur mekanik mencoba ber-eksperimen untuk membuat rumahnya tersebut.

Struktur rumah Stemnan tersebut menggunakan kayu, namun yang lebih unik dari rumah kertas Stemnan adalah bagian interior dan perabotan rumah tersebut juga terbuat dari susunan kertas. Mayoritas kertas yang di pakai adalah kertas koran. Total sekitar 100.000 lembar kertas digunakan Stemnan untuk membungkus rumahnya.

Stemnan menggunakan teknik susunan kertas lapisan demi lapisan yang dicampur dengan lem yang terbuat dari campuran air, tepung dan peal apel untuk menutupi dindingnya. Teknik ini mirip dengan teknik sederhana untuk membuat topeng kertas. Selanjutnya untuk menghindari pelapukan kertas, Stemnan melapisi kertas kertas tersebut dengan pernis.

Awalnya, Stemnan ingin menguji ide nya mengenai kekuatan kertas isolasi di rumahnya. Selanjunya dia memutuskan untuk ber-eksperimen lebih lanjut dengan menggunakan sebanyak mungkin kertas isolasi tersebut untuk bukan saja sekedar membuat dinding rumahnya, namun juga beberapa perabotan seperti meja dan kursi serta tirai penutup jendela yang di buat dari lapisan maupun gulungan kertas. Penggunaan mayoritas kertas koran diyakini banyak orang karena kertas koran adalah jenis kertas yang murah dan berlimpah saat itu. Selain untuk mendaur ulang dan pemanfaatan kertas bekas, Stemnan juga secara tidak langsung menjadikan rumahnya museum artikel dan berita dari koran koran yang digunakannya tersebut. Sehingga bisa dikatakan berita berita dan artikel yang menghiasi rumah Stemnan sudah berusia hampir satu abad.




Stemnan telah mengajarkan pada kita sejak dari tahun 1922, bahwa pemanfaatan dan daur ulang kertas bisa juga digunakan untuk membuat suatu rumah, dan hal tersebut bisa dikatakan penghematan biaya. Karena kertas koran adalah bahan baku yang murah. Uniknya, Stemnan bukanlah seorang arsitek atau ahli konstruksi, sebagai seorang Insinyur Mekanik, dia berprofesi sebagai seorang mekanik pembuat klip kertas. Ide rumah kertas Stemnan memang boleh dibilang kalah tua dengan ide Shoji Screen rumah Jepang, tapi setidaknya dua contoh tersebut bisa dijadikan inspirasi untuk memanfaatkan kertas bekas menjadi bagian dari disain bangunan yang unik. Dan jangan pernah berharap rumah Stemnan akan dijual, karena keluarga Stemnan tidak ingin melakukan hal tersebut, terlebih setelah rumah itu dijadikan obyek wisata.

Minggu, 10 Juli 2011

Rawajati, Kampung Hijau Di Tengah Kota Padat

Jakarta adalah kota Metropolitan yang awalnya terdiri dari kumpulan kumpulan kampung. Beberapa nama kampung tersebut tetap bertahan di tengah himpitan serbuan perkembangan kota yang menghadirkan hutan hutan beton dan gemerlapnya gedung gedung pusat perbelanjaan atau yang biasa di kenal dengan sebutan "Mal". Salah satu kampung yang tetap berusaha menghadirkan keseimbangan lingkungan adalah Kampung Rawajati di kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Kampung Rawajati sejak awal tahun 2000-an telah mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta dan juga telah dijadikan kawasan argowisata karena ciri khasnya sebagai kawasan pemukiman penduduk padat di tengah kota yang masih memelihara suasan asri dan ramah lingkungan.

Komitmen masyarakatnya lah yang telah membuat perubahan fisik pada kampung Rawajati menjadi kawasan "hijau" dan asri di tengah kota. Konsep yang mereka tawarkan bukan sekedar "taman" tapi justru banyak menghadirkan konsep "tanam". Sadar akan semakin terbatasnya ruang untuk menghadirkan kawasan hijau di tengah kota yang terus di terjang oleh kebutuhan komersial, warga Rawajati mendisiplinkan diri mereka untuk menjadikan tampak depan rumah mereka masing masing menjadi rumah tanaman. Berbagai tanaman yang di gantung atau diletakkan di dalam pot yang disusun di depan rumah mereka menjadikan sepanjang jalan di kampung Rawajati di hadirkan pemandangan "Living Wall" atau dinding hijau sebagai tampak bangunan. Sehingga melintas di kampung ini serasa tidak sedang berjalan di tengah kota besar yang biasanya di hiasi dinding beton menjulang tinggi dan pemandangan macetnya lalu lintas kendaraan.
Pada Tahun 2005, gubernur Sutiyoso meresmikan kampung ini menjadi kampung argowisata. Sayangnya tidak banyak publikasi atas kampung ini sehingga tidak banyak yang tahu keberadaan kawasan pemukiman penduduk di tengah kota ini sebagai kawasan argowisata di tengah kota.

Tidak hanya konsep taman yang menjadikan kampung tersebut menjadi percontohan lingkungan yang asri, namun warganya berinisiatif untuk memanfaatkan pengetahuan sederhana untuk mengolah sampah anorganik menjadi bahan industri kecil perumahan untuk dibuat menjadi tas plastik, dompet plastik atau tempat sabun dan lainnya. Sementara sampah organik diolah menjadi pupuk kompos.Mereka memanfaatkan sampah organik menjadi kompos dengan pengetahuan sederhana yang mereka dapat yang membutuhkan waktu 6-7 minggu untuk proses pembuatannya. Sekarang, mereka bisa memproduksi 200 karung pupuk kompos setiap minggunya dan mereka jual Rp.3000 per karung. Apa yang mereka lakukan dengan mengolah sampah bekas ternyata juga bisa menjadi tambahan mata pencaharian mereka karena menciptakan industri kecil seperti penghasil tas dari plastik bekas dan juga menjual pupuk kompos.

Kreatifitas warga terlihat dari pot pot yang digunakan, mereka tidak selalu menggunakan pot pot tanaman yang banyak dijual di tukang jual tanaman. Namun mereka juga memanfaatkan drum drum bekas atau kaleng kaleng bekas sebagai pot tanaman.Sejak dijadikan kawasan argowisata, kampung ini telah didatangi sekitar 21.000 orang. Jumlah yang masih relatif sedikit dibanding jumlah penduduk Jakarta secara keseluruhan.


Konsep penataan kampung di tengah kota padat ini sebenarnya strategi yang efektif untuk membantu menghadirkan kawasan ramah lingkungan. Winny Maas, arsitek Belanda pernah mengatakan dalam wawancaranya dengan majalah FuturArc bahwa pengembangan Jakarta harusnya memperhatikan konsep kampung nya. Karena Jakarta tidak bisa disamakan dengan New York, Singapore, Hongkong, London atau Sidney. Kampung lah yang menjadi titik nadi pengembangan Jakarta. Apa yang dilakukan warga Kampung Rawajati munghkin bukan hal yang secara harafiah di maksud oleh meneer Maas, namun mereka telah memulai menata pemukiman yang sehat di tengah kota yang penuh polusi.  Dan harusnya bisa menjadi contoh di beberapa daerah pemukiman lainnya di tengah kota Jakarta yang terhimpit oleh bangunan bangunan raksasa. Konsep Passive Design seperti kampung Rawajati harusnya juga mendapatkan perhatian para pemerhati lingkungan dan penata kota atau para arsitek, bukan hanya berbicara "Green Design" dengan mengandalkan teknologi tinggi seperti solar panel atau ac yang sudah pasti akan menyedot biaya lebih mahal dan mungkin tidak terjangkau oleh para penduduk berpenghasilan menengah kebawah.

.