Minggu, 10 Juli 2011

Rawajati, Kampung Hijau Di Tengah Kota Padat

Jakarta adalah kota Metropolitan yang awalnya terdiri dari kumpulan kumpulan kampung. Beberapa nama kampung tersebut tetap bertahan di tengah himpitan serbuan perkembangan kota yang menghadirkan hutan hutan beton dan gemerlapnya gedung gedung pusat perbelanjaan atau yang biasa di kenal dengan sebutan "Mal". Salah satu kampung yang tetap berusaha menghadirkan keseimbangan lingkungan adalah Kampung Rawajati di kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Kampung Rawajati sejak awal tahun 2000-an telah mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta dan juga telah dijadikan kawasan argowisata karena ciri khasnya sebagai kawasan pemukiman penduduk padat di tengah kota yang masih memelihara suasan asri dan ramah lingkungan.

Komitmen masyarakatnya lah yang telah membuat perubahan fisik pada kampung Rawajati menjadi kawasan "hijau" dan asri di tengah kota. Konsep yang mereka tawarkan bukan sekedar "taman" tapi justru banyak menghadirkan konsep "tanam". Sadar akan semakin terbatasnya ruang untuk menghadirkan kawasan hijau di tengah kota yang terus di terjang oleh kebutuhan komersial, warga Rawajati mendisiplinkan diri mereka untuk menjadikan tampak depan rumah mereka masing masing menjadi rumah tanaman. Berbagai tanaman yang di gantung atau diletakkan di dalam pot yang disusun di depan rumah mereka menjadikan sepanjang jalan di kampung Rawajati di hadirkan pemandangan "Living Wall" atau dinding hijau sebagai tampak bangunan. Sehingga melintas di kampung ini serasa tidak sedang berjalan di tengah kota besar yang biasanya di hiasi dinding beton menjulang tinggi dan pemandangan macetnya lalu lintas kendaraan.
Pada Tahun 2005, gubernur Sutiyoso meresmikan kampung ini menjadi kampung argowisata. Sayangnya tidak banyak publikasi atas kampung ini sehingga tidak banyak yang tahu keberadaan kawasan pemukiman penduduk di tengah kota ini sebagai kawasan argowisata di tengah kota.

Tidak hanya konsep taman yang menjadikan kampung tersebut menjadi percontohan lingkungan yang asri, namun warganya berinisiatif untuk memanfaatkan pengetahuan sederhana untuk mengolah sampah anorganik menjadi bahan industri kecil perumahan untuk dibuat menjadi tas plastik, dompet plastik atau tempat sabun dan lainnya. Sementara sampah organik diolah menjadi pupuk kompos.Mereka memanfaatkan sampah organik menjadi kompos dengan pengetahuan sederhana yang mereka dapat yang membutuhkan waktu 6-7 minggu untuk proses pembuatannya. Sekarang, mereka bisa memproduksi 200 karung pupuk kompos setiap minggunya dan mereka jual Rp.3000 per karung. Apa yang mereka lakukan dengan mengolah sampah bekas ternyata juga bisa menjadi tambahan mata pencaharian mereka karena menciptakan industri kecil seperti penghasil tas dari plastik bekas dan juga menjual pupuk kompos.

Kreatifitas warga terlihat dari pot pot yang digunakan, mereka tidak selalu menggunakan pot pot tanaman yang banyak dijual di tukang jual tanaman. Namun mereka juga memanfaatkan drum drum bekas atau kaleng kaleng bekas sebagai pot tanaman.Sejak dijadikan kawasan argowisata, kampung ini telah didatangi sekitar 21.000 orang. Jumlah yang masih relatif sedikit dibanding jumlah penduduk Jakarta secara keseluruhan.


Konsep penataan kampung di tengah kota padat ini sebenarnya strategi yang efektif untuk membantu menghadirkan kawasan ramah lingkungan. Winny Maas, arsitek Belanda pernah mengatakan dalam wawancaranya dengan majalah FuturArc bahwa pengembangan Jakarta harusnya memperhatikan konsep kampung nya. Karena Jakarta tidak bisa disamakan dengan New York, Singapore, Hongkong, London atau Sidney. Kampung lah yang menjadi titik nadi pengembangan Jakarta. Apa yang dilakukan warga Kampung Rawajati munghkin bukan hal yang secara harafiah di maksud oleh meneer Maas, namun mereka telah memulai menata pemukiman yang sehat di tengah kota yang penuh polusi.  Dan harusnya bisa menjadi contoh di beberapa daerah pemukiman lainnya di tengah kota Jakarta yang terhimpit oleh bangunan bangunan raksasa. Konsep Passive Design seperti kampung Rawajati harusnya juga mendapatkan perhatian para pemerhati lingkungan dan penata kota atau para arsitek, bukan hanya berbicara "Green Design" dengan mengandalkan teknologi tinggi seperti solar panel atau ac yang sudah pasti akan menyedot biaya lebih mahal dan mungkin tidak terjangkau oleh para penduduk berpenghasilan menengah kebawah.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar